Ada sejumlah perubahan penting di dunia Islam setelah era kemenangan
Revolusi Iran pada 1979. Perubahan yang mencolok, sebagaimana sudah
saya ulas dalam tulisan-tulisan lain di blog ini, adalah munculnya
fenomena kebangkitan Islam (al-shahwa al-Islamiyya, Islamic resurgence).
Fenomena ini ditandai dengan munculnya sejumlah istilah baru
(neologisme), juga retorika dan diskursus baru yang merefleksikan
perubahan tersebut.
Salah satu retorika yang kerap kita
dengar sejak tiga dekade terakhir, bukan saja di Indonesia tetapi di
hampir seantero dunia Islam, ialah bahwa Islam adalah agama yang
sempurna. Istilah yang kerap dipakai adalah “kamil” atau “mutakamil” — keduanya berarti sempurna. Istilah lain yang sering dipakai adalah “shamil“,
yakni komprehensif. Selain sempurna, Islam juga dipandang sebagai
sistem yang lengkap, komprehensif. Ide ini terkait dengan ide lain yang
juga sering kita jumpai dalam retorika Islam kontemporer: yakni, Islam din wa dawlah, Islam adalah agama dan negara sekaligus.
Bagaimana
asal-usul retorika dan jargon ini? Kenapa muncul saat ini, terutama
setalah dekade 70an pasca Revolusi Iran? Apa konteks sosial-politik
yang melatarinya? Tulisan pendek ini akan mencoba menjawabnya.
Kemuncul
diskursus atau jargon “Islam sebagai agama yang sempurna dan
komprehensif” jelas bukan fenomena yang terisolir atau terpisah dari
situasi yang kita saksikan di dunia Islam pasca dekade 70an. Era ini
ditandai dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan alternatif terhadap
Barat. Sejak kemenangan Revolusi Iran pada 1979, muncul semacam rasa
percaya diri yang begitu kuat di kalangan generasi muda Islam bahwa
Islam akan mampu menjadi sistem lengkap dan sempurna yang bisa
menandingi sistem-sistem sekular seperti sosialisme dan kapitalisme.
Jargon yang populer sejak dekade 70an adalah Islam is the alternative, al-Islam huwa al-badil — Islam adalah alternatif baru.
Diskursus
kesempurnaan Islam, dengan demikian, adalah salah satu manifestasti
saja dari revivalisme atau kebangkitan Islam yang merupakan fenomena
dominan sejak tahun 70an di dunia Islam. Diskursus ini kemudian
diterjemahkan dalam sejumlah proyek intelektual dan politik, antara
lain proyek negara Islam, atau Islam sebagai sistem ekonomi alternatif
yang dianggap lebih unggul dari kapitalisme dan marxisme/sosialisme.
Sejumlah
aktivis Islam bergerak lebih jauh dalam menerjemahkan konsep mengenai
kesempurnaan Islam ini. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa
Islam adalah sistem dan jalan hidup yang sempurna, karena itu tak
diperlukan sistem-sistem lain yang sifatnya non-Islami. Sikap yang
“frontal” dan rejeksionis ini muncul, misalnya, dalam penolakan sebagian
aktivis Muslim (jumlahnya tak besar, tapi memiliki militansi yang
tinggi sehingga suaranya sangat terdengar keras di gelanggang media)
terhadap demokrasi sebagai sistem politik. Mereka beranggapan bahwa
demokrasi adalah sistem “kafir” karena berlawanan dengan gagasan dasar
Islam mengenai kedaulatan Tuhan (al-hakimiyya al-ilahiyya).
Sebagian
aktivis Muslim juga ada yang menolak sistem hukum yang berasal dari
luar Islam (baca: Barat), sebab sistem itu dianggap berlawanan dengan
hukum Islam (shari’a). Sebagai sistem kehidupan yang sempurna
dan komprehensif, Islam tak perlu meminjam hukum “sekuler” yang berasal
dari luar Islam. Karena itu, penegakan hukum Islam atau shari’a
dianggap oleh mereka sebagai keniscayaan.
Kalangan Islam
yang lain juga bergerak lebih jauh lagi, misalnya dengan memperkenalkan
ide tentang Islamisasi sains. Ilmu pengetahuan yang datang dari Barat
mereka anggap membawa bagasi ideologis yang kontradiktoris dengan
ideologi Islam. Mereka tidak menolak sains per se, tetapi
mereka menampik muatan ideologis yang tersembunyi di baliknya. Mereka
beranggapan bahwa sains modern membawakan pandangan dunia yang sekuler
dan materialistik. Islamisasi sains bertujuan untuk menghilangkan
muatan-muatan yang mereka anggap sebagai “racun” ini. Islamisasi sains
adalah sejenis penyucian sains modern dari “dosa asal”-nya yang
bersumber dari ideologi materialisme.
Dengan kata lain,
diskursus kesempurnaan Islam adalah semacam jawaban dari kalangan
aktivis Islam terhadap dominasi dan hegemoni Barat. Diskursus ini tiada
lain adalah semacam counter-hegemony, atau hegemoni
tandingan. Oleh karena sistem-sistem yang berasal dari Barat tampil
dalam formula yang begitu komprehensif, meliputi hampir semua bidang
kehidupan, maka Islam pun haruslah merupakan sistem serupa yang
lengkap, komprehensif, bahkan lebih superior, sebab sumbernya berasal
dari instansi transenden, bukan instansi mundan di dunia ini.
Sejumlah
justifikasi keagamaan tentu dicari untuk menyokong diskursus
kesempurnaan ini. Ayat dalam Surah Al-Maidah: 3 seringkali dikutip
untuk menyokong diskursus atau wacana tentang kesempurnaan tersebut.
Bunyi ayat itu, “al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa raditu lakum al-Islam dina“,
Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan ni’matku
atas kalian dan Aku menginginkan Islam sebagai agama kalian.
Istilah
“akmaltu” yang berarti “Aku menyempurnakan” dijadikan dasar untuk
mendukung wacana tentang kesempurnaan Islam. Dari kata kerja inilah
kemudian lahir istilah yang kemudian kita kenal luas belakangan, yakni
Islam sebagai agama yang “kamil” atau sempurna.
Tentu saja
pengertian Islam sebagai sistem sempurna dan superior yang menandingi
sistem Barat jelas merupakan gagasan modern yang muncul belakangan
sebagai, seperti saya katakan di atas, respons atas hegemoni Barat,
situasi yang jelas merupakan hasil dari dinamik sejarah dunia di abad
ke-20. Kalau kita tengok pengertian “menyempurnakan” (akmaltu)
sebagaimana kita jumpai dalam tradisi penafsiran Quran klasik,
pengertian “Islam sebagai sistem komprehensif” seperti dipahami oleh
aktivis Islam belakangan, jelas tak akan kita lihat.
Dalam tafsir al-Qurtubi (judul lengkapnya Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran wa al-Mubayyin Li Ma Tadlammanahu Min al-Sunna wa Ayi ‘l-Furqan),
kita jumpai keterangan yang menarik mengenai pengertian
“menyempurnakan” ini. Menurut al-Qurtubi, mengutip pendapat sebagian
besar sarjana Muslim pada zamannya (jumhur), yang dimaksud
dengan menyempurnakan dalam ayat itu bukanlah pengertian yang harafiah.
Pengertian “menyempurnakan” dalam ayat itu ialah diturunkannya sebagian
besar hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat
keharusan (fardlu), halal dan haram. Dengan turunnya ayat ini
(menurut sarjana tafsir klasik, ayat 5:3 ini diterima Nabi Muhammad pada
hari Jumat, saat beliau wuquf di Arafah), bukan berarti seluruh hukum
Islam telah lengkap. Sebab, ada hukum-hukum baru yang turun setelah
ayat itu. Misalnya, hukum tentang keharaman riba (bunga pinjaman yang
berlipat-lipat; bunga lintah darat; adl’af mudla’afa), menurut
para sarjana Quran, turun setelah ayat 5:3 itu. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan “kesempurnaan” di sini bukanlah dalam pengertiannya yang
harafiah (Tafsir al-Qurtubi, edisi Muassasa al-Risala, 2006, vol. VII,
hal. 293).
Saya ingin menambahkan penafsiran lain di
luar keterangan yang saya kutipkan dari al-Qurtubi di atas. Jelas
sekali yang dimaksud dengan kesempurnaan dalam ayat itu bukanlah dalam
pengertiannya yang letterlijk atau harafiah, sebab banyak hukum
yang muncul belakangan melalui proses ijtihad para ulama. Jika Islam
adalah sistem yang telah lengkap dan komprehensif sebagaimana dikatakan
oleh sebagian aktivis Islam itu, maka dengan demikian ijtihad atau
penalaran rasional berdasarkan sumber-sumber tekstual yang ada tak
diperlukan lagi.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
“sempurna sebagai agama yang telah sempurna” di sini adalah sempurna
pada aspek pokok-pokok ajaran dan hukumnya saja. Istilah “sempurna” di
sini jelas bukan dalam pengertian bahwa semua hal sudah ada dalam
Islam, dan bahwa Islam telah memuat jawaban yang menyeluruh dan komplit
terhadap segala masalah yang dihadapi oleh masyarakat di segala zaman.
Dua teks utama dalam Quran jelas tak memuat jawaban secara eksplisit
mengenai semua soal. Yang termuat di sana hanyalah ajaran-ajaran dasar
yang kemudian dikembangkan sendiri, melalui prosedur ijtihad, oleh para
ulama dan sarjana Islam sepanjang zaman. Contoh yang sangat baik
adalah kasus pemilihan khalifah atau pemimpin masyarakat Islam
sepeninggal Nabi Muhammad. Jika kita mengikuti pendapat yang umum
dianut oleh kalangan Sunni, jelas tak ada penjelasan yang detil dan
menyeluruh tentang bagaimana menghadapi soal yang begitu penting dalam
masyarakat, yaitu suksesi kepemimpinan (Kalangan Shi’a berpendapat
lain: Nabi Muhammad tegas-tegas memawarikan kepemimpinan kepada menantu
dan sepupunya sendiri, Ali ibn Abi Talib).
Karena
tiadanya keterangan yang jelas mengenai metode suksesi kepemimpinan
ini, terjadilah cekcok dan pertikaian yang berlarut-larut lebih dari
seribu tahun, antara Sunna dan Shi’a tentang metode pemilihan seorang
khalifah atau pengganti Nabi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
“sempurna” dalam ayat di atas bukanlah pengertiannya yang harafiah,
sebab hal itu sama sekali tidak mungkin. Banyak hal dalam sejarah Islam
yang tak ada jawabannya secara eksplisit dalam Islam. Yang termuat
dalam Islam hanyalah ajaran-ajaran dasar yang kemudian bisa kita
kembangkan sendiri.
Dengan demikian, konsep kesempurnaan
di sini adalah kesempuraan potensil, bukanlah kesempurnaan aktual.
Islam mengandung ajaran dan nilai-nilai dasar yang secara potensial
bisa dikembangkan lebih lanjut sebagai sebuah sistem. Pengembangan ini
jelas membutuhkan kerja intelektual kolektif dari umat Islam sendiri.
Itulah yang disebut dengan ijtihad.
Kalau kita telaah
lebih jauh lagi, pengertian tentang Islam sebagai sistem alternatif
yang lengkap sebagaimana sudah saya sebut di atas jelas berkaitan
dengan gejala yang oleh pemikir dari Mesir Nasr Hamid Abu Zayd disebut adlajah al-din,
proses ideologisasi agama. Gejala ini memang muncul belakangan,
sebagai salah satu manifestasi dari fenomena kebangkitan Islam seperti
yang sudah saya singgung. Ada perbedaan yang tajam dan mendasar antara
Islam sebagai ideologis dan Islam sebagai sumber moralitas dan etis
dalam kehidupan seorang beriman. Dengan kata lain, harus dibedakan
antara Islam ideologis dan Islam etis. Islam ideologis mempunyai ambisi
untuk menjadi sebuah sistem lengkap untuk menandingi ideologi sekular
Barat. Ujung paling jauh dari Islam ideologis biasanya adalah merebut
kekuasaan politik untuk menegakkan sistem Islami, atau, jika
dimungkinkan, negara Islam.
Islam etis tidak mempunyai
ambisi politis semacam itu. Ia hanyalah sumber moral dan etis yang
memandu kehidupan seorang Muslim. Islam ideologis umumnya memang
cenderung melihat Islam dan entitas-entitas budaya di luarnya sebagai
dua pihak yang berhadapan secara kontradiktif. Islam ideologis memiliki
kecenderungan intrinsik untuk bersikap rejeksionistik atau menolak
sistem-sistem lain yang dianggap inferior terhadap Islam. Semantara
Islam etis lebih bisa bersahabat dan berdialog secara produktif dan
sehat dengan sistem-sistem lain di luarnya.
Islam etis,
misalnya, tak melihat bahwa demokrasi harus dipandang sebagai sistem
yang berlawanan secara total dengan Islam. Sebaliknya ia bisa menerima
konsep demokrasi, seraya berusaha agar demokrasi “dipribumikan” dalam
konteks ajaran Islam sendiri. Islam etis juga tak melihat dunia secara
dualistik terbagi dalam dua wilayah: wilayah Islam dan wilayah kafir,
dan dua-duanya saling bertabrakan dan bertolak-belakang (ini
mengingatkan kita pada teori clash of civilization yang
dipopulerkan oleh Samuel Huntington). Pandangan dualistik ini hanya
kita jumpai dalam aliran-aliran pemikiran dalam Islam ideologis.
Diskursus kesempurnaan Islam sebetulnya lebih banyak dipakai dan
dieksploitasi oleh kalangan Islam ideologis ini sebagai justifikasi
teologis untuk proyek politis-ideologis mereka.
Saya tak
menolak konsep kesempurnaan Islam. Saya hanya ingin menganjurkan agar
konsep ini dipahami tidak dalam kerangka Islam ideologis tetapi lebih
dalam kerangka Islam etis. Memahami konsep kesempurnaan dalam kerangka
Islam etis tak akan membawa kita kepada penghadapan yang sifatnya
dualistik antara Islam dan sistem-sistem lain. Islam bisa berdialog dan
mengadopsi sistem-sistem kultural lain, dengan tanpa kehilangan jati
dirinya sebagai sebuah sistem yang unik. Dialog ini sifatnya dinamis
sesuai dengan perkembangan zaman yang terus berubah. Hanya dengan
demikian Islam akan diperkaya dan memperkaya proses berkeadaban yang
terus berlangsung tanpa henti dalam sejarah manusia, baik klasik atau
modern.